RSS

LILIN IMA MATI

Lilinnya mati, aku menjauh, sengaja tak mau melihat Ima menangis hari ini. Gadis sipit dikepang dua itu menjerit sakit, matanya menghimpit air mata. Gaun pink cantik yang dikenakannya kini telah kotor. Tangan Ima ditusuk jarum, digurat selang. Pelipisnya berdarah-darah, tergolek tak berdaya diatas tempat tidur UGD rumah sakit. Beberapa menit kemudian tangisnya melemah, hanya terisak-isak kecil, sambil berusaha keras untuk bernafas. Aku tidak mau lagi melihat Ima.. tidak mau lagi.. tidak tega…

*****
Lima jam yang lalu aku masih sempat memeluk Ima, merapikan gaun pink nya yang cantik dengan bahan beludru. Aku merapikan kepangannya dengan pita biru, menyisir poninya di depan cermin. Sambil meringis ia berkata,
“ Kak, kenapa aku lebih mirip ayah ?”
“ Mmmmhh… mungkin karena kalian berdua sama-sama suka kacang kulit “ jawabku seadanya.
“ Hehehehehe…” Ima tertawa.
Aku kembali menyisir poninya, memberinya segelas susu coklat, yang sudah tergeletak sejak lima menit yang lalu di meja riasnya. Hari ini ia sumringah, tertawa berkali-kali sambil menunjukkan giginya. Memang hari ini ia akan meniupkan sepuluh buah lilin kecil warna-warni diatas kue nya, dan ia cantik hari ini, sangat cantik.
Selesai meneguk segelas susu coklatnya, ia berbalik menatap wajahku sambil tetap duduk di atas meja riasnya. Aku agak membungkuk, bersedia menerima bisikkannya di telingaku.
“ Kak, aku tidak mau melihat ayah di pesta ulang tahunku “ bisik Ima pelan.
Aku tersenyum kecil, tidak kaget, karena aku pun juga ingin begitu.
Selang setengah jam kami bercanda-canda, Ima menarik tanganku ke ruang tamu. Aku melirik jam dinding, huh… masih pukul 04.00, sedangkan pestanya dimulai pada pukul 05.00. Ima bergerak bebas di ruang tamu, menyanyi-nyanyi kecil, gembira melihat dekorasi ruang tamu kami, ada buah-buahan di atas piring yang telah disediakan. Kue tart di tengah-tengah, dan ada sepuluh buah lilin kecil warna-warni sesuai permintaan Ima di atas kue itu. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukkan dari balik pintu, Ima terkejut ketakutan.
“ Kak, kalau itu ayah jangan dibuka “
“ Iya sayang…”
Kreeeekkk…. Pintunya terbuka….
“ Hai Simphoni….”
Huh… ternyata itu tanteku, memanggil namaku. Ima tersenyum, tidak takut lagi, itu bukan ayah.
“ Hai tante Mira “ jawabku gembira.
Tante Mira adalah adik ibu, ia datang ke rumah kami sesering mungkin, terkadang ia menginap, karena Ima akan menangis kalau tante Mira harus pulang ke rumah.
“ Hai Ima, ini kado buat Ima “ sambil mencium Ima dan memberikannya sebuah bingkisan yang lucu.
“ Huh.. aku kira ayah “ kata Ima Lega.
“ Terima kasih ya tante, aku masih menunggu teman-temanku. Tante mau kacang kulit ?” tanya Ima kepada tante Mira.
“ Tidak, jangan kacang kulit, nanti ayah datang “ gurau tante Mira sambil mencubit pipi Ima.

*****

Ini adalah tahun kedua dimana Ima selalu ketakutan…..
Aku sudah dua kali dipanggil ke sekolah oleh wali kelas Ima, katanya Ima selalu menangis. Bukan hanya karena ia harus kehilangan ibunya sejak dua tahun yang lalu, tapi karena ia pernah tersandung batu, sampai pelipisnya terluka, banyak mengeluarkan darah, dijait dan sekarang terkadang Ima harus menyisir banyak poninya agar bekas jaitannya tertutup.
Lantas kenapa hanya tersandung batu aku mesti dipanggil ke sekolah? dulu aku bingung dan selalu berfikir begitu, tapi akhirnya ada penjelasan.
Aku selalu membuatkan Ima bekal untuk makan siangnya di sekolah. Sebuah telur mata sapi setengah matang, di atasnya terang, nasi goreng, dan beberapa potongan tomat yang segar. Ketika itu, lima teman cowok Ima yang iseng mengejek-ngejek Ima ketika sedang makan, menumpahkan bekalnya hingga berserakan dimana-dimana. Ima menangis kuat, mengejar-ngejar mereka, dan yang lainnya berhasil berlarian kemana-kemana. Hanya satu yang berada di belakang Ima dan mendorongnya, Ima menjadi sangat sakit karena ketika itulah ia tersandung batu.
Itu yang pertama, dan yang kedua….. ah, aku tak ingin mengingatnya kembali. Bukan karena teman-teman Ima yang iseng itu, tapi karena ayah.
“ IMAAAAAAAA, selamat ulang tahun yah “
Wow, suara ramai dari teman-teman Ima membuyarkan lamunanku, ternyata sudah banyak anak kecil disini, aku menyambut mereka, memberikan balon dan topi ulang tahun. Ima dapat banyak kado, yang kecil hingga yang besar, yang terbungkus transparan juga ada, isinya sebuah boneka sapi besar. Ima suka boneka sapi, dulu ia punya banyak sekali, ibu sering membelikannya. Sebulan sekali dicuci, dibawa ke laundry. Ima meletakkan semua boneka sapi di sisi-sisi tempat tidurnya, dipeluk ketika ia tidur, dan juga ketika ia menangis. Ima sering menangis, sering sekali….
Semua itu karena ayah, ya… aku tak ingin mengingatnya, tapi juga aku tidak bisa lupa. Semenjak ibu menginggal, aku seperti kehilangan peri. Aku dan Ima tumbuh berdua, kadang tante Mira membantu kami, tapi itu tidak cukup. Dulu ayah sering di rumah, semenjak bebas dari penjara, justru malah kami yang dipenjara oleh ayah. Aku tak seberapa, tapi Ima… masih kecil dan tidak tau apa-apa. Umur kami berbeda tujuh tahun tapi terkadang aku merasa tidak cukup dewasa untuk melindungi adikku.
Dua tahun lalu ibu masih disini, menemani Ima tertawa setiap malam, bercerita tentang Si Kancil untuk Ima, sambil membukakan kacang kulit untuknya dan aku pun senang sekali melihatnya, bisa tertidur pulas pada malam hari dan terbangun lega pada pagi hari. Ima sering bercerita tentang ibu kepadaku, tentang ayah dan tentang apapun yang ia temui di sekolahnya.
Ima sering mengeluh tentang tingkah ayah, kata Ima sekarang ayah berbeda semenjak keluar dari penjara. Berperangai seram, dahinya sering mengernyit jika tidak setuju dengan sesuatu. Ayah sering berprilaku yang tidak-tidak pada Ima. Memukulnya kalau tidak menurut, menjambak rambutnya, dan hal lain yang tak sanggup kusebutkan, karena itulah Ima sering menangis, sering sekali….
Ima selalu melarangku untuk pulang malam, ia tidak ingin sendirian di rumah, tante Mira pun punya kesibukan dan tidak bisa terus-menerus menemani Ima. Begitu banyak penderitaan Ima karena ayah dan masih banyak lagi hal yang membuatku kaget ketika aku dipanggil ke sekolah.
Huh… Aku lelah memikirkan itu-itu saja, untung ayah sudah tidak tinggal lagi bersama kami. Aku tak peduli ia ada dimana sekarang dan yang terpenting gadis cantik ini bisa tersenyum lebar dan menikmati hari jadinya bersama teman-temannya.

*****

Ima memperhatikan kadonya satu – satu, yang isinya boneka sapi terbungkus transparan ia pegang terus sambil menyalami beberapa temannya. Ima tampak gembira, tertawa- tawa bersama teman-temannya, sepertinya masa lalu yang sering menghentak dirinya hilang begitu saja. Sambil menunggu temannya yang lain Ima memintaku menyetelkan lagu ulang tahun.
“ Kak, jangan sampai ayah datang “ untuk kesekian kalinya Ima mengucapkan itu.
“ Iya sayang… tenang saja “ kataku.
Ima celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri seperti ada yang sedang ia cari. Ia terdiam di depan kue ulang tahunnya. Teman-temannya asik bercanda masing-masing.
“ Aku mengundang lima teman cowokku yang waktu itu jahat sama aku kak “ Ima berbicara dengan suara kecil.
“ Yakin kamu mau mereka datang ?”
“ Iya kak, mereka kan sudah minta maaf dan tidak jahat lagi sama aku” Ima yang baik hati, mau mengundang lima temannya yang nakal yang pernah membuat ia celaka.
Waktupun menunjukkan pukul 05.00, aku nyalakan api pada sepuluh lilin di atas kue ulang tahun Ima, memberikan sambutan pada teman-temannya, memimpin doa, dan tak lama kemudian lima orang teman Ima itu datang.
“ Wah… akhirnya kalian datang juga, aku mau tiup lilin nih “ Ima tampak kegirangan. Lima orang temannya itu datang sambil membawa satu kado yang cukup besar, dibungkus rapi dan kemudian diberikan kepada Ima.
“ Ima maaf yah kami cuma bisa kasih ini “ ucap salah satu dari mereka.
“ wah gak apa-apa kok “
Pipi Ima memerah, tidak berhenti-henti tersenyum dan sekarang ia harus meniupkan sepuluh lilinnya itu.
Fuuuhhh…dan tiba-tiba… tiba-tiba….

*****

Lilinnya mati, aku menjauh, sengaja tak mau melihat Ima menangis hari itu. Gadis sipit dikepang dua itu menjerit sakit, matanya menghimpit air mata. Gaun pink cantik yang dikenakannya kini telah kotor. Tangan Ima ditusuk jarum, digurat selang. Pelipisnya berdarah-darah, tergolek tak berdaya diatas tempat tidur UGD rumah sakit. Beberapa menit kemudian tangisnya melemah, hanya terisak-isak kecil, sambil berusaha keras untuk bernafas dan lima orang teman Ima itu adalah anak-anak yang paling jahat yang pernah kulihat. Mereka datang sengaja merusak pesta Ima, meraup kue ulang tahun dan mengejar-ngejar Ima, mengotori bajunya hingga seisi rumah gempar dan aku tak sanggup menghentikannya, aku berkali-kali meneriakki mereka sebisaku, namun mereka berlari begitu kencang,  mengacak-acak kado Ima hingga berserakan dimana-dimana. Ima menangis kuat, mengejar-ngejar mereka hingga ke taman di sebelah rumah dan yang lainnya berhasil berlarian kemana-kemana. Hanya satu yang berada di belakang Ima dan mendorongnya. Braaaaakkkkkkkkk….. Ima spontan pingsan karena ketika itulah ia tersandung batu lagi dengan kencang dan pelipisnya terbentur dengan tanah. Kenapa hal ini harus terulang lagi ? Ya Tuhan…Aku tidak mau lagi melihat Ima.. tidak mau lagi.. tidak tega…


----------------------------------------------
ayas - saat terlalu sehat menulis

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment